Piranti bergincu dan mengadu
Barangkali pemahaman kita tentang cermin hanya sebatas alat untuk
berhias. Padahal dibalik karakteristik itu, ada ‘rahasia’ tersembunyi yang
mengandung kekuatan besar jika diungkap. Ia mampu menjadi media untuk mengusir
rasa jenuh sekaligus menumbuhkan gairah hidup kita.
Jenuh ada
normal. Wajar. Setiap orang pasti pernah merasakan. Tak terkecuali, kejenuhan
yang menghinggapi di lingkungan kerja. Tapi bila kejenuhan dibiarkan
berlarut-larut, tak ayal, lambat laun akan menyeret Anda ke lembah
ketidakberdayaan. Terus, apa hubungan antara cermin dengan kejenuhan? Secara
logika memang sulit dikatakan ada hubungan. Nonsense.
Namun tidak
demikian halnya dengan Siska. Eksekutif muda keuangan ini telah berulangkali mempraktekkan
keampuhan cermin manakala ia dililit rasa jenuh menghadapi tugas-tugas di
kantornya. Selembar cermin mampu ia gunakan sebagai media pengaduan bahkan
kemudian menjelma menjadi “malaikat” penolong dalam mengusir kejenuhan yang
menghinggapinya.
Mulanya, Siska
memang belum begitu jenuh dengan pekerjaannya. Menyenangkan sekaligus mengasyikkan.
Tapi seiring dengan bergulirnya sang waktu, akhirnya kejenuhan itu mulai
merayapi tubuhnya. Bahkan melilitnya hingga pekerjaan yang ia jalani menjadi
hal yang membosankan. Monoton, itu-itu saja. Dapat dimaklumi, setiap hari ia
selalu dihadapkan dengan laporan keuangan dan neraca-neraca yang memusingkan
kepala. “Angka-angka melulu,” gerutunya.
Sampai suatu
hari, ketika Siska hendak berangkat kerja, ia sempatkan menatap dalam-dalam
wajahnya di depan cermin. Ada guratan kegalauan yang terpancara dari roman
mukanya. Ada rasa malas yang begitu membelenggu langkahnya. Dan, di saat ia
tercenung tersebut, tiba-tiba ia berbicara pada dirinya sendiri lewat cermin
yang ada di depannya :
“Kalau kau ingin
berhasil, ini harus kau kerjakan Siska. Jalanmu masih panjang. Kamu masih muda.
Raihlah kesuksesan, singkirkan jauh-jauh rasa jenuh dengan pekerjaanmu itu.
Tidak ada hal yang lebih baik dari apa yang kamu kerjakan hari ini.
Bergairahlah dan kerjakan semua itu dengan semangat.”
Seperti ada
magnet yang menggerakkan tubuhnya, Siska seolah-olah dilemparkan pada suasana
lain. Ia menemukan keukuatan setalah bebicara dengan dirinya sendiri lewat
cermin itu. Bahkan percakapan yang telah dilakukan Siska membantu tugas yang
dibencinya dan takut mengerjakannya menjadi suat petualangan yang ia sukai dan
amat menguntungkan. Mulai saat itulah, hampir setiap apgi, Siska menatap wajah
dan berbicara dengan diri sendiri untuk menghalau rasa bosan dan jenuh yang
memasungnya.
CERMIN |
Apakah berbicara
dengan diri sendiri setiap hari itu tidak waras, kekanak-kanakan, naif atau
tidak serius? Barankali yang menihilkan cermin sebagai ‘obat penyembuhan’ pasti
akan mengiyakan. Atau barangkali menertawakan dengan nada sinis. Tapi tahukan
Anda bahwa: Inilah hakikat dari psikologi yang sehat? Menyitir pendapat Marcus Aurelius yang telah menulis Meditations pada abad 18, menerangkan
bahwa “profil kehidupan kita persis sama dengan apa yang kita pikirkan” !
Bila Anda merasa
tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dialami Siska di atas, tak salah bila
Anda coba. Anda tentu yakin, bahwa tidak ada hal yang bisa membuat Anda bahagia
sebelum Anda meyakini kebenarannya. Boleh jaid. Namun untuk lebih memantapkan
tujuan menghindari rasa jenuh ini, falsafah seolah-olah dari Prof Hans Vaihinger dapat pula
dikombinasikan dengan kekuatan cermin. Falsafah seolah-olah mengidentifikasikan
bahwa ketika kita jenuh dengan apa yang kita kerjakan, makan bertindaklah
seolah-olah menyenangi dan seolah-olah tidak merasa bosan.
Alhasil,
nikmatilah panggung kehidupan ini. Jadilah aktor protagonis yang dipuja
komunitas penontonnya. Memang, kehidupan ini penuh dengan sandiwara dan rasa
ketidakpuasan. Dan, rasa jenuh termasuk salah satu letupan ketidakpuasan itu.
Maka renungkanlah bila orang bijak bilang “be
happy for what you get” (nikmatilah apa yang Anda miliki) !
No comments:
Post a Comment