” Kamu nulis apa lagi, Ji?”
“Menulis yang sedang kutulis lah, baca aja nanti kalau sudah dipublish.”
“Halah halah, paling-paling fiksi lagi,kan? Doyan banget berkhayal sih.”
“Aku kan Wiji, Yul.”
“Ya iya dah tahu dari kamu lahir.”
“Wiji itu artinya biji. Biji itu akan tumbuh bila ditempatkan ditempat
yang tepat. Ditanah subur, diberi pupuk, disiram, dan biji itu akan bisa
bermanfaat. Pastinya orang tuaku berharap aku menjadi sebuah pohon yang
bermanfaat. Walau berumur pendek macam jagung atau padi.“
“Iya deh, apa nyambungnya dengan kesenanganmu nulis di ranah fiksi?
Bukankah fiksi itu cerita yang direka-reka? Bukan nyata dan bukan
sesungguhnya. “
“Iya betul. Bahkan kurang bijak bila ada yang menganggap fiksi adalah
kejadian sesungguhnya yang menimpa atau terjadi pada penulis. Dalam
fiksi aku bisa menyampaikan pesan yang tersirat dalam tulisanku. Makanya hanya orang yang waras
yang dapat memaknai pesan-pesan yang terkandung dalam karya fiksi.
Pesan itu bukan melulu kutujukan pada orang lain, tapi lebih banyaknya
untuk diriku sendiri, untuk menjaga hatiku agar biji kebaikan dalam
hatiku terus tumbuh dan kuharap makin menghunjam dalam hatiku. Dan, aku
ingin menanamkan biji-biji cinta. Yah, aku mempunyai keyakinan, sumber segala kebaikan adalah adanya cinta. Dan, sumber segala keonaran adalah tiadanya cinta.
Kejahatan itu tak ada. Yang ada adalah tiadanya kebaikan. Tiadanya kebaikan adalah karena tiadanya cinta.“
Wiji dan Yuli terdiam. Masing -masing melempar pandangan keluar jendela,
pada pohon-pohon yang tumbuh di halaman rumah Wiji. Pohon-pohon cinta.
Ada cinta, akan datang rindu. Ada rindu akan datang keinginan bertemu,
saat bertemu ingin berlama-lama bersama.
***
Jam tiga pagi, Wiji terbangun. Dengan kaget disibak dan dilipat selimut.
Disebelahnya, Yuli sahabat yang sudah mengakrabinya sejak masuk bangku
perkuliahan masih pulas. Bergegas Wiji melangkah ke kamar mandi yang
berada dalam kamarnya.
Yuli terbangun mendengar isakan Wiji. Setiap hari Wiji melakukannya
tanpa jemu. Itukah karena cinta? Selalu ada rindu dan keinginan berjumpa
dan selalu ingin berlama-lama bersama. Bisik Yuli dalam hati. Cinta itu
memang mengikat walau tanpa tali. Cinta itu merindu bertemu, tak harus
adanya wujud nyata, Cinta itu keyakinan bahwa saatnya nanti pertemuan
akan benar-benar nyata.
***
“Wiji, pernahkah kamu mencintai seorang lelaki, maksudmu pernahkah kamu
punya kekasih?” Tanya Yuli suatu hari saat kedua wanita belia itu makan
di kantin kampus.
“Kamu?” Wiji balik tanya.
“Sering, tapi aku ngga paham apakah itu cinta atau bukan. Aku sering
mencintai dan hanya beberapa saat jalan bareng, kami putus. kadang aku
yang mutusin kadang diputusin. Yang terakhir aku pernah jalan bareng
dengan lelaki selama dua tahun, akhirnya kandas juga….”
“Jalan bareng dua tahun? Ngga berenti-berenti? Wow, kuatnyaaaa…., ”
seloroh Wiji memotong pembicaraan Yuli. Yuli menarik hidung lancip Wiji
dengan gemes.
“Kalau aku cukup sekali dan sampai sekarang dan selamanya. Yang kuyakini
bahwa itulah cinta ya sekali itu. Dan pandanganku denganmu barangkali
beda, Yul.”
“Hoyaaa…siapa Ji? Cerita dong,” selidik Yuli penasaran.
“Baru dalam impianku. Aku bertemu di alam bawah sadarku. Pernah aku
bertemu sosok seperti itu, namun terjadi perbedaan pendapat antara hati
dan pikiranku. Akhirnya aku memilih diam, tak berpihak pada keduanya.
Aku menunggu hati dan pikiranku berdamai dan sepakat bin mufakat. Namun,
sebelum kesepakatan itu terwujud, dia telah memilih bersama orang lain
yang dia katakan lebih baik daripada aku. Dan, aku justru mendoakan
kebaikan baginya dan pasangannya. Kuyakini itulah cinta. Aku tak punya
alasan mengapa aku mencintainya. Dalam banyak hal antara aku dan dia
bagai bumi dan langit. Saat aku rindu, tak ada yang kulakukan kecuali
mendoakan kebahagiaannya, semoga Allah menyertai langkah-langkahnya. Aku
memang sering menangis dan kesal dengan berbagai tuduhannya yang
menyakitkan tentang aku. Tapi, akhirnya aku toh bisa memakluminya.
Mungkin ini sudah menjadi bagian dari skenario dari Sang Maha Karya
dari Penulis dan Sutradara segala kisah cinta mulai jaman Adam hingga
berakhirnya zaman.”
“Wah, miris amir kisahmu, Ji. Terus kamu gimana?”
“Gimana apanya? “
“Ya, masak kamu mau begini terus, Ji. Kayak ngga ada lelaki lagi aja.”
“Ngga tahu Yul, kujalani aja hidup ini. Aku pasrah, yang penting Allah
ridha padaku. Aku sedang menikmati lezatnya kebersamaan dengan Tuhanku,
pemilikku dan pemilik seluruh jagad dan segala isinya, termasuk dia. “
Wiji mendesah panjang. Wajahnya sendu, tapi sesaat kemudian ceria kembali seperti baru saja tersiram embun pagi.
(kmp)
(kmp)
No comments:
Post a Comment